Penolakan Tambang Emas Ilegal di Duo Koto Diduga Bermuatan Intrik Mafia, Ketua Pemuda Jadi Pahlawan Kesiangan

Pasaman Timur – Penolakan terhadap aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman Timur, Sumatera Barat, ternyata bukan murni jeritan rakyat. Fakta di lapangan mengungkapkan, aksi tersebut hanyalah panggung intrik yang dimainkan oleh segelintir pemuda dengan kepentingan gelap. Dalangnya, tak lain Ketua Pemuda Suhardi, yang disebut-sebut menjadi “komando bayangan” dalam drama penolakan itu.
Isu kerusakan lingkungan dan ancaman bencana ekologis hanya dijadikan topeng. Di baliknya, mafia tambang diduga bermain halus, menentukan siapa yang boleh beroperasi dan siapa yang harus disingkirkan.
Nama Agus dan Nono sengaja dilempar ke publik sebagai kambing hitam. Padahal, keduanya hanyalah pion kecil dari puluhan pemain lain yang juga mengeruk keuntungan dari tambang ilegal. Kesalahan mereka sederhana: tidak ikut setor “uang koordinasi” kepada jaringan mafia. Akibatnya, mereka dijadikan sasaran sorotan.
“Jangan heran kenapa hanya Agus dan Nono yang disorot. Itu karena mereka tidak tunduk sama aturan setoran. Pemain lain aman-aman saja,” ujar seorang warga dengan nada getir.
Ironisnya, aktivitas PETI justru semakin meluas. Dari Batang Kundur, operasi tambang ilegal telah merambah Lanai Hilir, Lantai Mudik, Sinabuan hingga Muara Tambangan. Semua disebut berada di bawah kendali Roni Irawan alias Rohom—oknum ASN Dispora Pasaman yang sudah bertahun-tahun dikenal sebagai pemain lama tambang ilegal.
Rohom bukan hanya lihai, tapi juga dikenal congkak. Ucapannya bahkan melecehkan: “Tuhan pun tidak dia takuti, apalagi media abal-abal.” Namun, meski sepak terjangnya sudah jadi rahasia umum, hukum seolah tumpul menghadapi dirinya. Nama Rohom tak pernah benar-benar tersentuh aparat.
Lebih parah lagi, muncul kabar bahwa aparat penegak hukum pun mendapat tekanan. Kapolsek Duo Koto, IPDA Antoni Hasibuan, disebut terhimpit oleh intervensi dari atasan hingga para bos tambang agar tak bertindak tegas.
“Kapolsek pun katanya dapat tekanan, dari atasan sampai bos tambang. Jadi bagaimana bisa bertindak tegas?” beber sumber terpercaya.
Situasi ini semakin memperlihatkan bobroknya penegakan hukum di Pasaman Timur. Masyarakat asli yang benar-benar muak dengan PETI meminta agar aparat dan pemerintah daerah berhenti bermain mata, berhenti jadi macan ompong, serta menindak semua pelaku tanpa pandang bulu—termasuk Ketua Pemuda Suhardi yang diduga ikut menikmati manisnya hasil tambang haram.
PETI di Pasaman Timur adalah cermin paling telanjang bahwa negara sedang kalah telak oleh mafia tambang. Aparat seolah dipasung, hukum berubah jadi dagangan, dan rakyat kecil hanya dijadikan tameng untuk melindungi kepentingan para cukong. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Pasaman tidak lagi sekadar daerah, melainkan akan berubah menjadi “republik kecil” milik preman tambang.